Tradisi Saptonan
- Claudyne Li
- May 22, 2020
- 2 min read
Updated: Jul 28, 2020
artikel oleh Claudyne Li dan Benita Nadira
Apa itu tradisi Saptonan?
Saptonan merupakan permainan adu ketangkasan dalam menunggang kuda sambil melempar tombak ke dalam lingkaran cincin (diameter 10 cm) yang berada di bawah ember berisikan air dari tujuh sumur. Ember tersebut tingginya tiga meter dari tanah. Pemenangnya ialah pelempar tombak yang mampu memasukkan tombak ke dalam cincin tanpa menumpahkan air dalam ember, dan menjatuhkan kudanya.

SEJARAH
Secara etimologi dan historis, kegiatan Saptonan dan Panahan Tradisional adalah acara rutin setiap hari Sabtu setelah kegiatan serba raga (sidang) yang dilaksanakan disekitar istana kerajaan Kajene (Kuningan) dan mempunyai makna yang dalam seperti heroisme, ketangkasan berkuda dan panahan dalam bela negara serta kebersamaan antara pemerintah dengan rakyatnya. Dalam upaya promosi kepariwisataan daerah dan pelestarian nilai nilai budaya tradisional daerah serta memeriahkan hari jadi Kuningan, setiap tahun pada bulan September diselenggarakan Saptonan dan Panahan Tradisional. Kesenian tradisi saptonan pada zaman dahulu dimainkan setiap hari Sabtu (berasal dari kata saptu). Permainan saptonan selain dulunya dimainkan keluarga kerajaan, juga dimainkan oleh kepala desa (demang) dan camat (tumenggung) yang ada di wilayah Kuningan. Seiring perkembangan zaman, permainan ini lambat laun di sukai oleh masyarakat terutama yang memiliki kuda dan kemudian berkembang menjadi agenda rutin tahunan oleh masyarakat Kuningan.
KUDA WINDU Kuda Windu menjadi bagian dari sejarah yang melekat erat dengan sejarah Kabupaten Kuningan. Kuda ini merupakan kuda perang yang menjadi simbol kabupaten Kuningan. Oleh karena kegesitannya, pada hari jadi kabupaten Kuningan selalu diadakan saptonan.
PERMAINAN SAPTONAN Sebelum memulai tradisi saptonan, masyarakat melakukan arak-arakan dengan memakai kostum kerajaan lengkap disertai replika pedang dan perisai yang diikuti masyarakat lain yang berperan sebagai rakyat jelata. Setelah sampai di lapangan, kepala desa (demang) dan camat (tumenggung) akan menyerahkan upeti yang berisi makanan dan hasil bumi kepada bupati sebagai persembahan. Kemudian upeti tersebut akan dibagikan kepada para penonton yang hadir menyaksikan tradisi saptonan tersebut. Dulunya, saptonan diikuti oleh banyak orang bisa sampai ribuan, dikarenakan kuda merupakan satu-satunya transportasi yang memudahkan waktu itu. Berbeda dengan sekarang, pemilik kuda di Kuningan dapat dihitung dengan jumlah tidak banyak sehingga pesertanya pun hanya beberapa orang saja. (CL-BN)
Comments