Pentingnya Edukasi terhadap Perubahan Sosial dan Perilaku Masyarakat selama Pandemi COVID-19
- Claudyne Li
- Jun 6, 2020
- 7 min read
Updated: Jul 28, 2020
artikel oleh Claudyne Li dalam Lomba Kajian Online KIPAS Mahasiswa BEM Fapet Unpad

Sekilas tentang COVID-19
Pandemi COVID-19 menggambarkan krisis kesehatan global secara besar-besaran. Sejak kemunculannya pada Desember 2019, corona virus jenis baru (SARS-CoV-2) memicu epidemi sindrom pernapasan akut (COVID-19) pada manusia, berpusat di Wuhan, China. Hanya dalam waktu tiga bulan, virus ini telah menyebar ke lebih dari 118.000 kasus dan menyebabkan ribuan kematian di 114 negara, sehingga ditetapkan sebagai pandemi global oleh WHO. Berbagai upaya kampanye kesehatan telah dilakukan untuk memperlambat penyebaran virus dengan himbauan mencuci tangan, mengurangi sentuhan pada wajah, dan memakai masker di luar rumah serta penerapan physical distancing.
Upaya pengembangan intervensi farmakologi untuk COVID-19 saat ini masih berlangsung. Sementara itu, krisis kesehatan juga berdampak pada perubahan perilaku berskala besar dengan beban psikologis yang signifikan pada manusia. Di sisi lain, pemerintah Indonesia pun masih berjuang dan belum menghasilkan solusi praktis di samping mengeluarkan berbagai kebijakan terutama kebijakan moneter dan fiskal tanpa lebih terfokus pada pada akar masalah, yaitu pengendalian wabah virus corona sendiri. Jika situasi ini terus berlanjut, ada kemungkinan rasa frustrasi masyarakat meledak menjadi konflik sosial (Satya, 2020). Oleh karena itu, studi tentang ilmu sosial dan perilaku manusia penting untuk memberikan wawasan berharga mempelajari pandemi dan dampaknya.
COVID-19 merupakan ancaman?
Salah satu respon emosional selama pandemi adalah rasa takut. Manusia, seperti hewan lainnya, memiliki seperangkat sistem pertahanan untuk memerangi ancaman luar. Emosi negatif yang dihasilkan dari ancaman dapat menular, dan ketakutan dapat membuat ancaman tampak lebih besar. Rasa takut yang kuat menghasilkan perubahan perilaku terbesar ketika orang tersebut merasakan self-efficacy tinggi, sedangkan rasa takut yang kuat dengan self-efficacy rendah menghasilkan respon pertahanan (sikap defensif) yang besar. Kejadian di Indonesia yang merebak di bulan-bulan lalu adalah penolakan jenazah pasien terinfeksi COVID-19. Kasus ini merupakan kisah pilu bukan hanya melihat kondisi jenazah saja namun juga kondisi mental para penolak jenazah, yang ironinya mereka juga menjadi ‘pasien’ anxiety disorder.
Emosi sering mendorong persepsi bahwa suatu hal berisiko, kadang-kadang bisa melebihi informasi faktual. Respon emosional terhadap situasi berisiko dapat memengaruhi pemikiran seperti emosi memusatkan seseorang pada informasi yang sama (misalnya, informasi negatif ketika sedang merasa negatif). Ketika emosi negatif meningkat, seseorang mungkin lebih mengandalkan informasi negatif tentang COVID-19 daripada informasi lain yang lebih positif untuk membuat keputusan. Media biasanya melaporkan COVID-19 secara negatif — misalnya, dengan melaporkan jumlah orang yang terinfeksi dan orang yang meninggal. Hal ini dapat meningkatkan emosi negatif dan membuat orang sensitif terhadap pemikiran yang buruk.
Ancaman lain adalah bahwa orang sering menunjukkan ‘optimism bias’ yaitu keyakinan bahwa hal-hal buruk lebih kecil kemungkinannya menimpa diri sendiri daripada orang lain. Sementara optimism bias (mungkin) berguna untuk menghindari emosi negatif, namun dapat membuat seseorang meremehkan kemungkinan mereka tertular penyakit sehingga mengabaikan peringatan kesehatan masyarakat. Strategi komunikasi yang baik harus mencapai keseimbangan antara melawan optimism bias tanpa menimbulkan perasaan cemas dan ketakutan yang berlebihan.
Ketakutan dan ancaman yang dialami memiliki konsekuensi tidak hanya bagaimana orang berpikir tentang diri mereka sendiri, tetapi juga bagaimana perasaan mereka dan reaksi terhadap orang lain — khususnya, kelompok luar. Misalnya, ancaman penyakit sering dikaitkan dengan tingkat etnosentrisme yang tinggi (sudah banyak laporan serangan fisik terhadap orang-orang etnis Asia di negara-negara berkulit putih, dan beberapa pejabat pemerintah salah mengartikan SARS-CoV-2 sebagai ‘Wuhan’ atau ‘virus China’). Selain itu, ada kepercayaan umum bahwa ketika dalam bahaya, orang-orang merasa panik, terutama di tengah keramaian. Artinya, mereka bertindak secara membabi buta dan keluar dari zona pertahanan diri yang berpotensi membahayakan kelangsungan hidup semua orang. Pemikiran ini telah digunakan untuk menjelaskan tanggapan terhadap wabah COVID-19 dalam kaitannya dengan gagasan ‘panic buying’.
Edukasi dalam Konteks Sosial
Perilaku orang dipengaruhi oleh norma sosial, apa yang mereka anggap orang lain lakukan atau apa yang mereka pikir orang lain setujui atau tidak setujui. Merubah perilaku dengan memperbaiki kesalahan persepsi semacam itu dapat dicapai dengan pesan-pesan publik yang memperkuat norma positif (misalnya, promosi kesehatan). Memberikan informasi yang akurat tentang apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang kemungkinan akan membantu misalnya apa yang dilakukan kebanyakan orang tersebut adalah hal-hal yang membangun (mempromosikan kesehatan). Norma sosial atau kebiasaan sosial yang dirasakan akan menjadi efektif untuk orang-orang dekat di sekitarnya yaitu dengan siapa informasi itu dibagikan.
Media atau jejaring sosial dapat memperkuat penyebaran perilaku baik yang berbahaya maupun bermanfaat, dan efek ini dapat menyebar melalui jaringan dari teman ke teman. Intervensi (campur tangan) yang lebih besar datang bukan dari efek langsung pada orang yang menerima intervensi, tetapi dari efek tidak langsung pada kontak sosial mereka yang meniru suatu perilaku. Seseorang sangat reaktif terhadap pilihan yang dibuat oleh orang lain, terutama kerabat dekat. Suatu cara untuk meminimalkan dampak buruk perubahan sosial adalah 'dorongan' secara persuasif yang bisa memengaruhi perilaku.
Komunikasi Sains (Science Communication)
Penyebaran informasi di sekitar pandemi menggarisbawahi pentingnya komunikasi sains yang efektif. Pandemi COVID-19 telah menyebabkan peningkatan perihal teori konspirasi, berita palsu dan informasi yang salah. Teori konspirasi muncul tak lama setelah berita pertama COVID-19 dan terus berlanjut. Beberapa pihak prihatin tentang asal-usul virus SARS-CoV-2, misalnya, bahwa itu adalah bioweapon yang dibuat oleh China untuk memicu perang terhadap Amerika atau sebaliknya. Pihak lain berfokus pada pencegahan dan penyembuhan. Tidak heran bahwa teori konspirasi telah berkembang saat ini. Seseorang akan lebih tertarik pada teori konspirasi ketika merasa ‘frustrasi’. Dengan demikian, teori konspirasi dapat menjadi daya tarik lebih karena COVID-19 menyebar dan banyak orang mengisolasi diri. Memberikan informasi faktual kepada orang-orang sebelum terpapar teori konspirasi dapat mengurangi keyakinan teori konspirasi, dan strategi ini mungkin bekerja dalam upaya untuk memerangi teori konspirasi yang relevan dengan pandemi saat ini. Namun, karena beberapa orang cenderung mengonsumsi informasi dalam ‘echo-chambers’ yang sepaham, memerangi teori konspirasi tetap menjadi tantangan.
Berita palsu dan informasi yang salah (misinformation) tentang COVID-19 telah menyebar luas di media sosial, dengan konsekuensi yang berpotensi berbahaya. Penelitian yang sedang berkembang menggunakan ilmu sosial untuk memahami dan melawan penyebaran berita palsu. Salah satu pendekatannya adalah menghilangkan prasangka menggunakan pengecekan fakta (fact-checking) dan koreksi. Keahlian sumber dan koreksi yang memberikan penjelasan kausal cenderung meningkatkan efektivitas melawan informasi yang salah.
Pendekatan preventif lainnya melibatkan dorongan halus yang mendorong orang untuk mempertimbangkan keakuratan. Musyawarah berkaitan erat dan menyebabkan berkurangnya kepercayaan pada berita palsu yang beredar di media sosial. Platform sosial dapat mendorong pengguna untuk memberi keakuratan, misalnya secara berkala meminta pengguna tersebut untuk menilai keakuratan berita mereka. Melawan berita palsu tentang COVID-19 di seluruh dunia secara efektif perlu dukungan pemerintah dan media yang mengembangkan dan menguji intervensi. Di Indonesia sendiri, pemerintah dianggap belum mengerahkan upaya-upaya memberikan transparansi informasi. Walau ditepis oleh presiden, namun beberapa pihak masih berpendapat bahwa informasi mengenai wilayah dan tempat yang terdampak, penting untuk diketahui publik diimbangi dengan menjaga kerahasiaan identitas pasien. Di sini, upaya terkoordinasi antarindividu, komunitas dan pemerintah dibutuhkan untuk memerangi penyebaran penyakit dengan mengirim ‘sinyal kuat’ kerja sama dan framework yang sejalan.
Tingkah Laku Prososial
Perilaku individu yang hidup dalam komunitas diatur oleh norma dan nilai moral. Orang yang melakukan apa yang 'benar', dihormati dan dikagumi secara publik, sementara mereka yang melakukan apa yang 'salah' didevaluasi (tidak dihargai) dan dikecualikan secara sosial. Masalah ini berkaitan dengan moralitas dan kerja sama yang dapat mendorong perilaku prososial oleh individu dan kelompok. Oleh karena itu, terdapat tindakan untuk mendukung perilaku prososial dari individu dengan mengesampingkan persepsi-persepsi negatif, seperti:
1. Berpikir zero-sum. Orang sering berpikir keuntungan orang lain (terutama seseorang yang bersaing dengannya) merupakan kerugian untuk diri mereka sendiri, dan sebaliknya. Berpikir zero-sum berarti meskipun secara psikologis mungkin menarik untuk menimbun alat kesehatan (sanitizer, masker, vaksin) di luar kebutuhan, hal itu bisa saja merugikan diri sendiri. Berpikir zero-sum mungkin membantu untuk membuat orang ‘sadar’ tentang pemikiran menghambat upaya orang lain mencegah penyakit adalah keuntungan bagi dirinya sendiri (Bavel dkk., 2020).
2. Kerjasama dalam kelompok. Memerangi pandemi global membutuhkan kerja sama skala besar. Masalahnya adalah kerja sama menuntut orang untuk menanggung biaya individu demi keuntungan orang lain. Memberikan isyarat bahwa tindakan bermoral adalah suatu tindakan penting telah terbukti meningkatkan kerja sama. Orang-orang juga cenderung bekerja sama ketika mereka tahu bahwa orang lain bekerja sama. Oleh karena itu, intervensi berdasarkan observasi dan norma-norma deskriptif sangat efektif untuk meningkatkan perilaku kooperatif, misalnya menunjukkan bahwa para pemimpin dan media dapat mempromosikan kerja sama dengan membuat perilaku ini lebih dapat diamati.
3. Kepemimpinan (leadership). Adanya jiwa kepemimpinan dapat mengoordinasikan individu dan membantu masyarakat menghindari perilaku yang tidak bertanggung jawab secara sosial.
4. Kepercayaan. Selama pandemi, dinas kesehatan perlu membujuk penduduk untuk melakukan sejumlah perubahan perilaku dan mengikuti kebijakan kesehatan yang bertujuan untuk mengendalikan diri seperti melakukan karantina atau melaporkan secara sukarela pengujian medis. Langkah-langkah seperti itu mungkin sulit untuk ditegakkan. Kepercayaan pada lembaga dan pemerintah dapat memainkan peran penting (Lenward, 2020). Informasi terpercaya dan pesan kesehatan masyarakat diperlukan dari para pemimpin nasional dan lembaga kesehatan.

Menghindari Gangguan Stres dan Kecemasan
Pandemi COVID-19 cenderung menjadi pemicu utama, terutama dalam hal kecemasan kronis dan kesulitan ekonomi. Efek tersebut dapat diperburuk oleh kebijakan mengisolasi diri atau social distancing yang dapat meningkatkan isolasi sosial dan berkurangnya hubungan antarindividu. Koneksi sosial membantu orang mengatur emosi, mengatasi stres, dan tetap bertahan selama masa-masa sulit. Sebaliknya, kesepian dan isolasi sosial memperburuk beban stres dan sering menghasilkan efek buruk pada kesehatan mental, kardiovaskular, dan sistem imun tubuh. Distancing memperburuk perasaan kesepian dan dapat menghasilkan konsekuensi kesehatan jangka panjang yang negatif.
Dalam istilah psikologis, kesepian ditafsirkan sebagai keadaan subjektif bahwa seseorang tidak mengalami cukup koneksi sosial, sedangkan isolasi adalah kurangnya interaksi sosial yang objektif. Seseorang dapat diisolasi tetapi tidak kesepian, atau dalam konteks lain gambarannya seperti kesepian di tengah orang banyak. Dengan demikian, istilah ‘social distancing’ mungkin menyiratkan bahwa seseorang perlu menghilangkan interaksi. Istilah alternatif yang berguna mungkin ‘physical distancing’ untuk membantu menyoroti fakta bahwa hubungan sosial dimungkinkan bahkan ketika orang terpisah secara fisik. Interaksi online juga dapat menumbuhkan koneksi baik menerima dan memberi dukungan secara online yang dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis. Perhatian khusus harus diberikan untuk membantu orang yang kurang terbiasa dengan teknologi untuk belajar bagaimana memanfaatkan koneksi digital.
Upaya menghadapi pandemi global dalam menghindari stres sama sekali bukan pilihan. Pola pikir sehat dan penilaian terhadap setiap situasi dapat mengubah dampaknya. Menumbuhkan pola pikir sehat dapat meningkatkan kemungkinan ‘stress-related growth’, sebuah fenomena di mana pengalaman yang penuh tekanan berfungsi untuk meningkatkan kekuatan fisiologis, membantu mengatur kembali prioritas yang mengarah pada deep-relationship, dan menghargai arti kehidupan.
Kesimpulan
Penanganan penyakit global COVID-19 memerlukan tindakan mendesak untuk mengurangi dampak yang berpotensi merusak, yaitu tindakan yang dapat didukung oleh ilmu dan edukasi sosial terhadap perubahan perilaku masyarakat. Terkait hal itu, WHO dalam Rimal dan Lapinski (2009) mengatakan bahwa “health communication is seen to have relevance for virtually every aspect of health and well-being, including disease prevention, health promotion and quality of life”. Selain itu, berbagai upaya perlu dibarengi dengan kerja sama dan dukungan antarpihak baik masyarakat, lembaga, maupun pemerintah.
Referensi
Bavel, J.J.V., Baicker, K., Boggio, P.S. 2020. Using social and behavioural science to support COVID-19 pandemic response. Nat Hum Behav.
Lewnard, J.A. 2020. Scientific and ethical basis for social-distancing interventions against COVID-19. The Lancet Infectious Disease.
Rimal, R. N. dan Lapinski, M. K. 2009. Why health communication is important in public health. Bull. World Health Organ, 87:247–247a.
Satya, P.A. 2020. COVID-19 dan Potensi Konflik Sosial. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional.
Comments